Oleh : Lasog
“What? A great man? I only ever see the ape of his own ideal.”—Friedrich Nietzche
Siapa superhero pertama di lapangan hijau? Sebuah pertanyaan yang biasa keluar di perbincangan dunia persepakbolaan. Sebelum kita mendalami dan mengenal siapa superhero di lapangan hijau itu, mari kita sama-sama sepakati terlebih dahulu mengenai superhero. Masyarakat awam tahu bahwa superhero (biasanya) merupakan sosok (protagonis) yang mampu mengatasi berbagai masalah serta mampu menyelamatkan atau menolong semua orang. Akan tetapi, diluar pengertian umum mengenai makna superhero, ada pula superhero yang “hanya” bermodalkan selayaknya manusia biasa, seperti halnya kita atau bahkan sebaliknya, justru berangkat dari sosok yang dianggap berlawanan, yaitu penjahat—akibat kontruksi sosial. Hal tersebut atau sosok itu biasa dikenal dengan istilah: anti-hero.
The Phantom, misalnya, adalah sosok superhero “hantu” yang lebih mengandalkan kemampuan untuk mengelabui penjahat. Pun demikian dengan pahlawan lainnya semacam Batman, yang memiliki kekuatan super melalui pakaian yang ia modifikasi sedemikian rupa dengan perlengkapan yang berteknologi tinggi. Sementara untuk sosok asenti-hero, Watchmen—salah satu komik ciptaan Alan Moore—salah satunya. Sebuah kelompok mantan pahlawan, namun tidak memiliki kekuatan yang biasa dimiliki oleh kebanyakan para pahlawan. Mereka berenam hanya memiliki kekuatan manusia biasa.
Dalam konteks realita sepak bola, gema tentang epos kepahlawanan tak dapat dikesampingkan. Misalnya di tanah Britania Raya, peradaban sepakbola Inggris mengenal nama Roy of The Rovers atau yang bernama asli Roy Race—tokoh rekaan Frank S Pepper (1910-1988) yang terbit pada tahun 1954. Bagi sebagian kalangan, Roy of The Rovers sejatinya merupakan sosok yang terinspirasi dari sosok Kapten Inggris yang mengantarkan Inggris juara World Cup pada tahun 1966. Bobby Moore (1941-1993) namanya. Hal tersebut dibuktikan dengan waktu terbitnya komik Roy of The Rovers diterbitkan, tahun 1993. Tahun itu sama dengan tahun ketika Moore—panggilan akrab Booby Moore—meninggal. Kedepannya, keduanya—Roy of The Rovers dan Moore—dianggap sebagai simbol kick n rush yang diidentikan dengan semangat pantang menyerah.
Pada tanggal 10 April 1995, The Guardian—surat kabar yang dimiliki kelompok Guardian Media Group. Surat kabar ini merupakan harian serius dalam bentuk lembaran besar dan dikenal relatif berhaluan kiri—sempat menulis bahwa ada sosok pesepakbola Inggris lain yang dianggap juga mewakili semangat khas Roy of The Rovers. Alan Shearer namanya. Ia berasal dari klub Blackburn Rovers dan sebagai pencetak gol terbanyak di Liga Inggris. Yang menarik kemudian adalah beragam sosok pahlawan muncul dari lapangan hijautak melulu identik dengan konsep hero yangada mitologi yunani atau superhero dalam horison atau pandangan dunia perkomikan. Jika diperbolehkan menebak, dalam dunia sepakbola, konsep Anti-hero lah yang lebih dominan dan melekat serta sangat mengekal dalam ingatan di peradaban dunia sepakbola manapun, ketimbang gambaran superhero yang gagah perkasa seperti yang direpresentasikan dalam cerita di dunia komik.
Diego Armando Maradona, salah satu contohnya. Ia adalah sosok anti-hero yang bisa kita jumpai dalam film-film noir seperti The Maltese Falcon (1941) atau Touch of Evil (1958); lahir di lingkungan kelas menengah kebawah, dan hidup dilingkungan yang menyaratkan ia untuk bertahan hidup (survive). Di daerah yang tinggali sangat identik dengan ambivalensi moralitas a la jalanan. Tumbuh dan besar dan lingkungan tersebut, maka sangat wajar jika nama Maradona kemudian sangat dipuja-puja di Boca Junior dan Napoli.
Sosok anti-hero lainnya dapat kita temukan dalam diri Eric Cantona. Salah satu hal yang paling dikenang dari diri Cantona—selain tendangan kungfu-nya ke Mattew Simons, Hooligan Crystal Palace yang bebal itu—adalah saat ia menyerukan kepada orang-orang untuk mengosongkan rekening tabungan mereka sebagai bentuk protes terhadap krisis keuangan global kala itu.
Jika kita pindah ke daratan Italia, terdapat dua nama yang juga pantas disebut sebagai anti-hero, yaitu Antonio Cassano dan Cristiano Lucarelli. Cassano merupakan simbol hedonisme dalam persepakbolaan Italia, Bercinta dengan banyak perempuan, makan enak, mabuk, membangkang manajer klub, melawan titah pelatih, berlatih hanya jika ia mau, tak peduli skor akhir dalam pertandingan. Inilah yang membedakan dengan Balotelli atau Maradona, yang hampir sama bengalnya. Jika Balo dan Maradona masih mempersoalkan nasionalisme sempit a la stadion dan harga diri timnas, Cassano justru mempersetankan semua hal tersebut. Ia menolak terikat dengan suatu identitas yang bersinggungan dengan fanatisme dalam stadion belaka. Menurut pandangan saya, sosok Cassano dan sifat serta sikapnya adalah sosok anti-hero sebenarnya dalam sepakbola. Ia merupakan representasi atau perwujudan yang sangat dekat dengan konsep Ubermensch dalam filsafat Nietzchean: memiliki kehendak bebas tanpa kontrol atau otoritas apapun, kemauan kuat untuk berkuasa atas dirinya sendiri dan memahami moralitas tuan dalam kehidupan.
Berbeda dengan hal yang ada pada Cassano, karakter Lucarelli tendensi lebih ke ideologis, lebih politis, meskipun keduanya dianggap anti-hero yang sama. Lucarelli adalah idealis keras kepala Livorno adalah tulang dan darahnya, segalanya adalah Livorno! Demikian bagaimana ia selalu menggaungkannya. Yang tak kalah hebat lagi, saat bermain sepakbola, ia tidak hanya sekedar ber-euphoria saja, namun ia sangat totalitas dan sanggup mengeluarkan segala kemampuannya demi klubnya saat bertanding. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Lucarelli bisa dianggap sebagai anti-hero yang militan seperti halnya dengan Cassano? Tentu saja pilihan atau arah politiknya. Ia adalah seorang Komunis yang taat, sama halnya dengan warga Livorno kebanyakan. Dan juga Livorno adalah kota dimana Partai Komunisme Italia pertama kali didirikan, yaitu pada tahun 1921. Padahal kita tahu bahwa Italia adlah negeri yang sarat dengat Fasisme. Satu hal lagi yang masih membuat seorang komunis semacam Lucarelli dianggap sebagai seorang komunis militan adalah saat laga Internasional U-21 tahun 1977, antara Italia dan Moldova. Saat itu Lucarelli merupakan salah satu striker muda andalan yang sangat potensial dan sangat berambisi untuk mencetak gol. Dan memang ia mencetak gol dan merayakannaya atau berselebrasi dengan berlarikerah tribune suporter Italia dan mencopot jersey yang ia pake dan melemparkannya kearah supoter. Yang menjadi terkenang bahwa ia sangat kental dengan kekirian adalah setelah ia melepaskan dan melemparkan jersey yang ebelumnya telah memakai kaos putih untuk dalaman jersey-nya. Kaos putih itu bergambar wajah Che Guevara—seorang revolusioner dari Kuba. Meskipun setelah kejadian itu lantas dicekal oleh FIGC.
Pada akhirnya sikap (ke)pahlawanan pada dunia sepakbola hanya sebuah kontruksi sosial. Ia adalah refleksi dari hasrat banyak orang tentang sesuatu yang ideal, sempurna, tak tertangkap oleh cakupan kita, sekalipun ia berada dalam wilayah “abu-abu” seperti konsep anti-hero yang telah dijelaskan diatas.
Dan jika kita tarik ke dalam konteks persepakbolaan Indonesia, menurut saya Evan dimas yang boleh menjadi sosok pahlawan yang sempat digilai oleh masyarakat beberapa tahun lalu. Akan tetapi jangan terlalu kagum atau bahkan kaget jika sosok Evan Dimas (kala itu) lebih cemerlang dan laku daripada iklan Sosis So Nice atau iklan Oli Yamaha Evalube 4T-Pro. Jika saya boleh meminjam istilah dari Michael Foucoult (1926-1984) mengatakan bahwa kekonyolan semacam itu disebut irony heronization, “ironi heronisasi”, iya! Tentang kepahlawanan yang kini masih abu-abu di Indonesia.
Tetapi bukanlah sangat relevan dan cocok untuk negeri ini yang tak bisa lepas dari ironi?
0 komentar:
Posting Komentar