Oleh: Lasog
Kita memahami dunia ini dengan bahasa dan konsep. Saussure—salah satu linguis terkenal abad 20—kurang lebih menerangkan bahwa suatu konsep hanya memiliki makna secara berkebalikan dengan apa yang tidak dikandung oleh lawannya (paradoks). Jadi kita mamahami semua hal dengan membentuk dalam pikiran kita secara sangat instan dengan cepat menyimpulkan kutub-kutub oposisi: bahagia dan sedih, kaya dan miskin, natur dan kultur...serta daftarnya tanpa akhir. Namun semua hal tersebut terjadi bukan karena secara sadar kita melakukannya. Maka, konsep-konsep seperti diatas tadi jadi punya makna karena hubungan mereka dengan konsep yang lainnya. Dengan demikian, sangatlah penting apa yang kemudian disebut relasi oposisi itu ada. Dan jika kita sentuhkan pada wilayah feminis, mereka akan berpendapat bahwa relasi oposisi terpenting yang ditemukan dalam sistem masyarakat yang menurut anggapan orang awam pada stratifikasi sosial maupun diferensiasi sosial didasarkan hanya karena adanya kelas, namun kubu feminis berpendapat bahwa gender lah yang hadir sebagai relasi oposisi dalam tubuh masyarakat. Iya, gender lebih penting dan krusial daripada kelas, sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa para kaum feminis ini banyak yang bukan seorang Marxis, yang selalu berseteru dan berdebat tentang permasalahan kelas saja. Namun beberapa diantara mereka (baca: feminis) adalah Marxis. maka muncul sebuah pertanyaan, kenapa permasalahan gender begitu penting ketimbang kelas? Ya, karena dalam kelas hanya berbicara tentang identitas sosial-ekonomi, dan hal itu bisa berubah. Sebagai contohnya, seseorang terlahir dalam keluarga miskin, lalu menciptakan sesuatu atau menemukan tambang penuh emas kemudian ia akan jadi kaya raya. Tapi identitas sesksual—seperti yang dimaksud oleh para feminis—seseorang itu tidak tergantikan. Kita semua terkurung dalam gender—terutama perempuan yang selalu didiskreditkan dengan keadaan yang mengamini untuk melemahkan mereka—secara alami dan tidak kita sadari. Kecuali tentunya bagi sejumlah kaum transeksual, baik pria maupun perempuan. Jadi yang menjadi argumen para feminis itu adalah bahwa konflik seksual, konflik antara laki-laki dan perempuan itu lebih penting dan fundamental daripada pertentangan antar kelas sosial-ekonomi yang berbeda. Dan tema tersembunyi dalam relasi oposisi yang terjadi ini—konflik gender—yang paling penting dalam semua sejarah menurut para kaum feminis adalah adanya dominasi dan eksploitasi atau penakhlukan yang dilakukan laki-laki atas perempuan.
Lalu bagaimana hubungan feminis klasik hingga masa modern akhir, yang dulu memperjuangkan hak-hak perempuan? Apakah terdapat hubungannya dengan posmodernisme? Jika ada bagaimana menjelaskan hal tersebut? Pada akhirnya keduanya—feminis dan posmodernis—sama-sama kritik terhadap masyarakat. Kaum posmodernis menyatakan bahwa narasi-narasi tradisional yang sebagian dari kita menyebutnya metanarasi telah memberi legitimasi terhadap institusi-institusi dan tatanan sosial kita tak dapat dipercayakan lagi. Di kubu feminis berpendapat bahwa narasi-narasi ini tersirat bahkan seringkali secara tersurat berifat seksis. Karena secara umum wanita menjadi ibu, orang bisa bilag bahwa identitas dan pemahaman tentang dirinya sendiri sudah sewajarnya bersifat relasional. Anda—yang bukan kaum feminis atau yang tidak mengindahkan derajat perempuan—bahwa kaum hawa dirancang untuk memperoleh identitasnya dengan cara membuat hubungan mereka dengan orang lain, seperti bayi dan anak mereka serta wanita lainnya. Secara temperamen, mereka---kaum feminis—juga menginginkan komunitas dimana anak-anaknya akan tumbuh terasuh dan terlindungi. Dilain pihak, kaum laki-laki mengembangkan pemahaman diri mereka—kaum perempuan—melalui pemisahan dan penjarakan dari dari pihak lain (alienasi).
Jadi bagi kaum feminis-posmodernis, perbedaan antara laki-laki dan perempuan sungguh kontras. Ya. Baik dalam pengertian identitas seksual maupun kekuataan politik yang tumbuh dari perbedaan-perbedaan tersebut. Misalnya Freud—bapak psikoanalisa abad 20—bertanya pada wanita tentang apa yang diinginkan oleh mereka. Freud menyangka bahwa mereka—para perempuan—hanya menginginka penis. Tapi jawabannya ternyata sederhana saja: wanita menginginkan kesetaraan dan keadilan serta adanya rasa kebersamaan untuk membantu mereka mengembangkan diri dan membesarkan anak-anak mereka. Namun itu sangat sulit dicapai dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar