Senin, 09 Oktober 2017

Ikat Rambut, Kacamata dan Semangkuk Mie ( Bagian I )

Di pagi yang cerah, di atas kasur di dalam salah satu kamar kos di sebuah tempat di pinggir kota, di mana aku hanya menetap tinggal sementara. Aku terbangun. Karena telah nampak seberkas cahaya menembus lubang-lubang ventilasi kamar yang tertutup oleh kertas bekas salah satu majalah porno yang mungkin tahun lalu aku terakhir membaca dan melihat-lihat konten apa saja yang disajikan. Lantas setelah aku sadar bahwa jarum jam sudah memukul angka setelah angka lima sebelum angka tujuh itu,  suara-suara kebisingan pagi  mulai menunjukkan seringainya dengan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya hanya beriterasi pada pengulangan di setiap harinya. Bunyi-bunyi itu berasal dari gesekan beberapa batang lidi yang memutuskan untuk berkumpul menjadi satu ikatan dan dibantu tukang kebun penghuni kos sebelah kamarku. Dengan ayunan pelan namun menghasilkan suara parau karena sapu yang ia pegang dengan sangat kuat dan tegas menyeret ujung-ujung lidi, yang sebenarnya malah menimbulkan suara yang bagiku sangat memekakkan telinga. Tak lupa pula suara air keran dari wastafel dipojok kos yang tetap dibiarkan mengalir karena tetangga sebelah masih sibuk mengurus hal-hal lain. Sehingga air itu ia biarkan mengalir sebebas-bebasnya. 
Lalu aku beranjak dari tempat tidur dan kucoba membuka kedua kelopak mataku sampai terbuka. Hingga cahaya yang lewat didepan mata membuat mataku terasa perih seperti diteteskan perasan jeruk nipis ala soto ayam langgananku di pojok jalan didepan kosku. Lalu aku tersadar bahwa hari ini adalah hari Minggu. Hari dimana semua orang memang seharusnya tetap terjaga di tempat paling nyaman untuk mengindahkan keinginan tubuh bermalas-malasan di tengah pulau kapuk yang sebenarnya hanya sebuah karpet berisi busa sisa-sisa busa peredam studio rekaman milik salah satu temanku yang sudah usang dan tidak dipakai lagi. Lantas aku menyulapnya menjadi kasur impian yang empuk meskipun faktanya hanya membuat jarak tubuh dan lantai kamar kos menjadi tidak terlalu berjarak dan tetap terasa dingin dimalam hari, terutama di musim penghujan. Dan aku bergerak kepinggir kasur dan masih dalam posisi tidur terlentang. Aku mulai meraba-raba lantai, aku mencoba mencari handphone yang semalam telah aku charge ulang di pojok kamar disebelah kasur yang aku sangkutkan ke meja belajarku. Lantas setelah kudapatinya, aku membuka pola kunci handphoneku. Bisa dibilang aku termasuk orang paling alay. Karena, aku membuat pola yang sangat rumit bahkan aku sendiripun kadang kesal karena kerepotan jika akan memakai handphone dalam keadaan yang urgensi. Hal itu kulakukan karena sangat sering teman-temanku meminjam handphoneku untuk menjahili perihal akun-akun sosial mediaku. Karena sebab itulah, sangat wajar kalau aku membuat pola kunci yang sangat rumit.
Setelah aku berhasil membuka pola kunci yang alay itu. Aku terkejut melihat notif di salah satu akun sosial mediaku menunjukkan notifikasi yang terhitung banyaknya. Lantas aku buka, dan kudapati bahwa salah satu kawanku meneleponku berkali-kali. Sangatlah tidak wajar, kenapa dipagi yang masih terhitung buta bagiku, ia menelpon hingga dua puluh tujuh kali. Dalam benakku, aku berpikir bahwa ada hal yang sangat penting yang menyangkut diriku. Kawanku itu bernama Fery. Ia salah satu kawanku di kampus, ia terkenal playboy kepada adik tingkat maupun kakak tingkat, terutama di jurusan perkuliahanku. Setelah kusadari bahwa ia menelponku karena alasan yang sangat urgensi menurutku. Lalu aku mencoba menelpon balik dia. Alhasil setelah beberapa saat aku menunggu, akhirnya ia mengangkat. Tanpa sempat aku memulai obrolan untuk menanyakan perihal kenapa ia menelponku berkali-kali apalagi matahari masih enggan keluar dari tempat bersemayamnya, ia langsung berkata dengan nada keras namun disertai ketakutan. Ia berkata : "Laptop dan hapeku hilang slenk!!!, Coba Carikan temenmu yang bisa Merawang atau apalah!". Setelah sekian detik aku diam, karena buat apa juga aku peduli dengan laptop atau handphone miliknya. Tapi setelah lama bergeming, aku berpikir bahwa walaupun dia memang sangat menyebalkan, ia tetap temanku. Lalu aku jawab dengan nada pelan seperti nada bicara nenek-nenek tukang sayur dipasar, aku menjawab dengan bahasa Jawa yang kasar kepadanya. Aku jawab : "Pie-pieLa kok iso ilang Ki kepie?? Koe ne wae teledor ke delehke." ( Gimana-gimana? Kok bisa hilang itu gimana ceritanya? Kamunya aja yang teledor dan lupa menaruhnya."). Lantas ia menjelaskan kronologinya dan aku hanya mengiyakan, karena didalam lubuk hatiku aku masih merasa ngantuk dan lelah dan pastinya aku akan bosan jika dipagi hari seperti ini aku dibangunkan oleh hal-hal yang aku memang tidak suka. Setelah selesai mendengarkan keluh kesahnya aku akhirnya menutup telpon, tidak lupa aku juga tadi terlanjur berjanji untuk membantunya menemukan laptop dan handphone miliknya yang hilang. Setelah itu aku mencoba memberanikan diri menegakkan tubuhku dan berjalan ke kamar mandi, dimana tempat aku sering mengadakan konser solo kecil-kecilan dan langsung mandi.

Kupakaian kaos polos yang baru saja aku ambil dari tumpukan londri di pojok belakang pintu. Karena tidak mempunyai lemari baju, lantas baju, celana dan apapun itu, aku letakkan sedemikian rupa hingga nampak rapi. Meskipun, tetap saja jika lihat oleh orang lain, hal ini merupakan distorsi estetika. Tak lupa juga aku memakaikan rompi jeans a l a punk-ku, yang hampir empat bulan ini aku tidak mencucinya, hanya aku gantungkan di paku yang kutancapkan di belakang pintu. Hingga jika malam datang dan aku lupa menyalakan lampu temaram kamar kos ku. Alhasil, nampak seperti orang yang berdiri dibalik pintu. Padahal hanya beberapa baju yang menggantung. Tak lupa aku semprotkan parfum harga dua belas ribuan yang biasa disediakan di counter-counter penjual pulsa. Ya memang ukurannya terhitung kecil. Namun, wangi semerbaknya sangatlah kuat dan tegas. Hampir aku lupa untuk memakai celana. Karena terlalu asyik menikmati harumnya parfum yang membuatku lupa akan pentingnya aurat di bawah pusar, diatas lutut yang sepatutnya harus aku tutupi. Kupakaian celana jeans yang berlubang, terkena puntung rokokku sendiri. Karena tak sengaja asbak dimana aku taruh rokokku yang masih menyala-nyala itu aku duduki. Hasilnya sangat  berseni, dengan lubang seperti ilustrasi tulang tengkorak dalam album-album Agnostik Front, band punk favoritku semasa SMA.

Setelah semua siap dan terlihat rapi bagiku. Aku sempatkan berkaca sejenak. Dan kulihat banyak jerawat yang tumbuh di sekitar pipi,  dibawah kantung mataku. Hingga nampak seperti jalanan terjal yang pastinya tidak akan membuat perjalanan sebuah bis patas akan nyaman. Jenggot yang jarang-jarang namun pasti, masih memancarkan keanggunannya. Serta kumis tipis, setipis roti lapis yang dijual setiap pagi mengelilingi sekolah-sekolah, masih tak bergeming jika ada angin sepoi-sepoi menghantamnya. Karena hari ini adalah hari Minggu, seperti biasanya, kegiatan pertama adalah mencari makan. Lantas aku beranjak ke arah parkiran motor didepan kos, yang memang seadanya, karena lahan parkir yang tidak memadai, ada beberapa motor milik tetangga kamar sebelah, sering tidak mendapatkan tempat parkir didalam. Akhirnya, mau tidak mau, motor harus diparkir diluar kos, tepatnya didepan gerbang masuk. Kakiku kuangkat perlahan-lahan menuju parkiran. Dan masih terlihat tukang kebun masih sibuk membersihkannya sampah dedaunan yang setiap harinya tidak jemu menjatuhkan dirinya dihalaman kos. Hingga jika bertepatan tukang kebun libur. Maka, halaman depan kos nampak seperti tempat yang tak pernah dikunjungi orang, karena banyak dedaunan yang kering berjatuhan dan memenuhi halaman depan kos.

Setelah sampai diparkiran, lantas aku coba nyalakan motor tuaku, motor CB 💯, yang aku modifikasi sedemikian rupa hingga nampak seperti motor mahal. Dengan balutan  cat hitam dop yang mempesona. Namun sering kali rewel. Setelah itu, aku lepaskan gas motorku dan meluncur ke warung mie langgananku, sekitar dua kilometer dari kos. 

Sesampainya di warung mie, langsung aku paksakan standar motorku untuk kembali berdiri tegak guna menopang motor CB 💯 kesayanganku. Tak lupa kulepas helmku yang  tanpa kaca itu. Lalu aku taruh  helmku di atas jok yang masih terlihat hitam mengkilap dan gagah, karena seingatku baru dua minggu yang lalu aku menggantinya dengan yang baru. Lantas aku masuk warung dengan melewati beberapa pelanggan yang akan atau sudah memesan maupun yang hendak membayar hingga aku harus meliak-liukkan tubuhku agar bisa melalui keramaian huma itu. Sampailah aku di depan kasir, dimana Teteh selalu ada disitu sepanjang hari hingga warung mie tutup. Teteh merupakan seorang wanita paruh baya, yang mungkin pada bulan depan, bulan Agustus, ia akan menginjak umur yang ke-65. Namun, ia masih terlihat semangat untuk tetap bekerja. Meskipun begitu, aku sangat paham dan aku mampu melihat dengan jelas kucuran keringat dari keningnya yang mulai berkerut serta kantung matanya yang mulai menggantung. Dengan kode salam dua jari, salam khas antara aku dan Teteh maupun pegawainya, aku memesan makanan seperti biasanya, mie rendang tidak pakai irisan sawi dan ditambah kuah setengah mangkuk. Dengan gerak cepat Teteh lalu memberitahu salah seorang pegawai yang ada dibelakang untuk segera membuatkannya. Lalu aku menuju ke meja, dimana memang sepatutnya aku menunggunya disana. Karena tidak etis jika menunggu didepan kasir, dimana para pelanggan mengantri untuk memesan ataupun akan membayar. Lalu aku tarik keluar kursi dari bawah meja, kursi berbahan plastik berwarna biru yang sudah nampak usang. Lalu aku persilahkan pantatku yang sudah meraung merasakan pegal untuk segera aku dudukkan di atas kursi kecil berwarna biru yang sebelumnya bersembunyi dibawah kolong meja itu. Selang beberapa saat, sekitar delapan menit, mie rendang kesukaanku telah jadi. Aku bisa merasakan aroma kuah rasa rendang itu memanggilku dari kejauhan, saat dibawa oleh seorang pegawai yang memakai baju putih yang berkerah merah. Lalu mangkuk mie rendang itu dilayangkan di samping mukaku, hampir saja terjatuh karena terkena gerakan cepat kepalaku yang menoleh. Mataku masih terpaku pada mangkuk mie yang telah ada didepanku beberapa saat. Tiba-tiba pandanganku teralihkan pada dua benda, sebuah ikat rambut dan kacamata minus yang memiliki frame dari Kuningan yang melebar. Kedua benda tersebut ternyata sejak tadi ada disitu, dibalik botol kecap dan botol saus. Dalam benakku, aku berpikir bahwa kedua benda ini pasti milik seorang perempuan. Mungkin benda itu tertinggal karena ia lupa atau mungkin karena ia terburu-buru untuk pergi. Belum sempat aku selesai menyimpulkan mengenai kedua benda itu. Ada seorang perempuan yang baru saja tiba di depan warung. Ia berparas cantik, putih serta memiliki rambut panjang yang agak ikal. Dia memakai kaos hitam dan dibalut kemeja kotak-kotak berwarna merah diluarnya yang ia biarkan terbuka kancingnya hingga kebawah. Dia memiliki mata yang sayup. Namun, sangat tajam penglihatannya. Lalu ia langsung turun dari motornya yang berwarna sama dengan kemeja yang ia pakai. Tanpa sempat melepaskan helmnya dulu. Dia langsung menuju ke meja dimana aku duduk. Terbesit di pikiranku bahwa kedua benda yang ada di meja dimana aku makan tersebut adalah miliknya. Dan ternyata benar, dia lantas mengambil kedua benda tersebut. Namun, beberapa saat kita sempat bertatap muka, menyambung mata dan seolah dia meyakinkan aku bahwa kedua benda itu miliknya. Segera setelah dia mengambil kedua benda itu, dia langsung kembali ke motor, menghidupkan motornya, lalu pergi dan berlalu. 

Perempuan yang barusan datang untuk mengambil kembali benda yang tertinggal dan segera berlalu itu membuatku terbuai. Entah apa yang aku pikirkan hingga ia bisa membuatku bukan hanya sekedar kagum, namun juga membuatku bertanya-tanya siapakah dia, dimana ia tinggal dan apa yang membuatnya memiliki paras yang sangat cantik itu. Sejenak aku terdiam. Bahkan, aku tidak ingat bahwa didepanku ada makanan yang harusnya aku makan sejak tadi. Dengan tanpa menunggu aba-aba peluit para cacing di perut yang sebenarnya sudah sejak tadi malam terus menerus meronta-ronta serta berteriak " woylapar woy!! ," hingga suaranya terdengar oleh telinga salah satu pelanggan di samping meja yang aku tempati. Sejenak aku terdiam. Bahkan, aku tidak ingat bahwa didepanku ada makanan yang harusnya aku makan sejak tadi. Aku tidak merasakan lapar lagi, yang kurasakan saat ini adalah rasa keheranan soal perempuan tadi. Namun, aku harus segera makan mie ini, aku disini karena aku lapar dan aku harus makan. Tanpa berpikir panjang dan masih tetap memikirkan perempuan tadi. Aku langsung bergegas menghabiskan mie rendangku guna menenangkan para cacing yang sudah melakukan boikot dan berteriak sejak tadi. Setelah selesai aku menghabiskan mie rendangku, aku tak lupa untuk merokok. Dan masih dalam posisi yang belum berubah dan masih memikirkan perempuan tadi, aku teringat janjiku untuk membantu Ferry menemukan laptopnya. Lalu aku beranjak dari meja menuju kasir dan lalu membayar mie rendang yang telah aku makan. Tanpa berkata-kata, karena masih teringat jelas paras cantik perempuan yang belum aku tahu namanya itu. Aku lalu menuju ke motor, dan pergi kembali ke kos.

( Bersambung... )

0 komentar:

Posting Komentar