Sabtu, 16 Desember 2017

Mengapa Harus "Bom Sederhana" ini(?)


Oleh: Lasog

Mungkin di zaman ini, bom Molotov lebih sering digunakan secara asal-asalan oleh para agen kekerasan amatir. Namun bagi tentara Finlandia yang tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan negaranya dari agresi liar Uni Soviet pada musim dingin 1939-1940, bom Molotov adalah senjata taktis dan strategis yang ampuh serta memiliki peran penting dalam banyak perlawanan di Finlandia pada masa itu.

Sejarah penamaan "bom ssederhana" ini pun mempunyai cerita yang unik dan penuh jenaka. Mengapa bisa demikian? Ya, "Molotov” merupakan joke yang diciptakan oleh tentara Finlandia untuk Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Vyacheslav Molotov dan salah satu arsitek Pakta Molotov-Ribbentrop, sebuah kesepakatan non-agresi antara Nazi Jerman dan Uni Soviet yang ditandatangani pada 23 Agustus 1939.

Dua pemain besar ini bersepakat untuk tidak saling menyerang atau saling melemahkan. Hal ini melegitimasi kedua pihak untuk menginvasi negara-negera yang lemah, terutama dipusatkan di sekitar negara-negera skandinavia. Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939. Dan Soviet menyerbu Finlandia pada 30 November 1939 dan kemudian memulai apa yang kemudian disebut dengan Winter War.

Dalam waktu yang singkat, nama Molotov menjadi bahan lelucon para tentara Finlandia paaca Uni Sovyet menginvasi Finlandia. Terlebih ketika aksi-aksi pemboman jarak jauh terhadap Helsinki, ibu kota Finlandia, dipropagandakan oleh Molotov sebagai bentuk pengiriman bantuan kemanusiaan Soviet bagi orang-orang Finlandia yang saat itu diklaimnya tengah kelaparan akibat krisis politik internal. Bom-bom ini dinamakan secara sarkastik oleh tentara Finlandia sebagai “keranjang-keranjang roti Molotov”.

Dan sebagai balasannya, ketika tentara Finlandia berhasil memproduksi masal bom-bom bakar ini untuk menyerang tank-tank Uni Sovyet, mereka menamakan senjata barunya tersebut sebagai “koktail Molotov”; sebuah kelakar, minuman pelengkap untuk keranjang-keranjang roti Molotov”.

Namun jika kita tarik lebih jauh lagi, bom Molotov ini sebenarnya sudah pernah digunakan dalam Perang Sipil Spanyol 1936 oleh tentara Nasionalis untuk menyerang tank-tank tentara Republik yang berkeliling disepanjang jalan di Spanyol. Namun nama Molotov ini baru diciptakan oleh tentara Finlandia, dan penggunaannya sebagai senjata alternatif bagi pertahanan sipil menyebar secara masif pada Perang Dunia II, terutama banyak digunakan di Inggris untuk menghadapi invasi Jerman.

Hingga Cold War atau Perang dingin berakhir, setidaknya 450.000 botol-botol koktail Molotov sudah diproduksi di Finlandia dan setengah lebih sudah digunakan untuk membakar sedemikian banyak aset-aset militer Soviet, baik tentara maupun tank. Setidaknya 363.000 tentara Soviet yang menggunakan artileri dan perlengkapan perang yang mendukung harus tewas dan 70.000 tentara Finlandia tewas akibat perlawanan yang menggunakan "bom sederhana" ini yang menggambarkan begitu efektifnya menekan penyerangan Uni Sovyet atas Finlandia.

Soviet memang menang, tetapi dihantui oleh kekalahan secara statistik yang cukup memalukan. Uni Sovyet yang terkenal digdaya dalam bidang militer dan perang harus terlunta-lunta menghadapi Finlandia yang kecil dan bahkan tidak siap untuk berperang tersebut.

Tentu saja bagi Molotov, seorang diplomat berdarah dingin dan kawan dekat Joseph Stalin ini, penyematan namanya ini merupakan sesuatu yang tidak akan bisa ia apresiasi positif, seperti ditulis oleh sejarawan Simon Sebag Montefiore dalam Stalin: The Court of the Red Star. Ironisnya, bom Molotov justru kerap digunakan oleh para demonstran anti-komunis, seperti dalam Revolusi Hungaria pada 1956.

Lalu bagaimana kabar Molotov dinegeri ini? Apakah ia masih berani hadir dalam aksi-aksi protes atau demo? Apakah masih ia mempunyai tempat untuk digunakan sebagai senjata dan pertahanan terbaik daripada memakai senjata semi-otomatis yang digunakan pihak-pihak represi yang dianggap menjaga stabilitas? Sebenarnya bom Molotov juga pernah hadir dalam sejarah Indonesia. Ada tokoh Herman Johannes, pahlawan nasional dan Rektor Universitas Gadjah Mada (1961-1966), yang tercatat sebagai ahli dalam membuat bom Molotov serta agitator dalam serangkaian peledak lain dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949).

Sebenarnya penggunaan Molotov ini sudah sangat sering digunakan pada masa Order lama, Orde Baru atau bahkan pasca Reformasi. Soe Hok Gie, salah satu mahasiswa yang ikut demostran pada masa Orde Baru pernah mencetuskan aksi pelemparan bom Molotov selama masa-masa demonstrasi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) tahun 1966.

Lalu menjadi pertanyaan yang fundamental, Apakah Molotov masih akan hadir dalam semua tindakan perlawanan di negeri ini dari pihak-pihak yang mengaku dirinya "penjaga keamanan" negeri maritim ini? Apakah masih efektifkah "bom sederhana" ini dibandingkan senjata semi-otomatis? Mari Kita kembalikan pada teman-teman yang mempunyai jiwa-jiwa revolusioner dan menganggap insureksi adalah sebuah pertunjukan yang indah seperti halnya perlawanan di negara dimana istilah dan wujud Molotov lahir.

Gender atau Kelas(?): Sebuah Perspektif Feminis-Posmodernis

Oleh: Lasog

Kita memahami dunia ini dengan bahasa dan konsep. Saussure—salah satu linguis terkenal abad 20—kurang lebih menerangkan bahwa suatu konsep hanya memiliki makna secara berkebalikan dengan apa yang tidak dikandung oleh lawannya (paradoks). Jadi kita mamahami semua hal dengan membentuk dalam pikiran kita secara sangat instan dengan cepat menyimpulkan kutub-kutub oposisi: bahagia dan sedih, kaya dan miskin, natur dan kultur...serta daftarnya tanpa akhir. Namun semua hal tersebut terjadi bukan karena secara sadar kita melakukannya. Maka, konsep-konsep seperti diatas tadi jadi punya makna karena hubungan mereka dengan konsep yang lainnya. Dengan demikian, sangatlah penting apa yang kemudian disebut relasi oposisi itu ada. Dan jika kita sentuhkan pada wilayah feminis, mereka akan berpendapat bahwa relasi oposisi terpenting yang ditemukan dalam sistem masyarakat yang menurut anggapan orang awam pada stratifikasi sosial maupun diferensiasi sosial didasarkan hanya karena adanya kelas, namun kubu feminis berpendapat bahwa gender lah yang hadir sebagai relasi oposisi dalam tubuh masyarakat. Iya, gender lebih penting dan krusial daripada kelas, sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa para kaum feminis ini banyak yang bukan seorang Marxis, yang selalu berseteru dan berdebat tentang permasalahan kelas saja. Namun beberapa diantara mereka (baca: feminis) adalah Marxis. maka muncul sebuah pertanyaan, kenapa permasalahan gender begitu penting ketimbang kelas? Ya, karena dalam kelas hanya berbicara tentang identitas sosial-ekonomi, dan hal itu bisa berubah. Sebagai contohnya, seseorang terlahir dalam keluarga miskin, lalu menciptakan sesuatu atau menemukan tambang penuh emas kemudian ia akan jadi kaya raya. Tapi identitas sesksual—seperti yang dimaksud oleh para feminis—seseorang itu tidak tergantikan. Kita semua terkurung dalam gender—terutama perempuan yang selalu didiskreditkan dengan keadaan yang mengamini untuk melemahkan mereka—secara alami dan tidak kita sadari. Kecuali tentunya bagi sejumlah kaum transeksual, baik pria maupun perempuan. Jadi yang menjadi argumen para feminis itu adalah bahwa konflik seksual, konflik antara laki-laki dan perempuan itu lebih penting dan fundamental daripada pertentangan antar kelas sosial-ekonomi yang berbeda. Dan tema tersembunyi dalam relasi oposisi yang terjadi ini—konflik gender—yang paling penting dalam semua sejarah menurut para kaum feminis adalah adanya dominasi dan eksploitasi atau penakhlukan yang dilakukan laki-laki atas perempuan.

Lalu bagaimana hubungan feminis klasik hingga masa modern akhir, yang dulu memperjuangkan hak-hak perempuan? Apakah terdapat hubungannya dengan posmodernisme? Jika ada bagaimana menjelaskan hal tersebut? Pada akhirnya keduanya—feminis dan posmodernis—sama-sama kritik terhadap masyarakat. Kaum posmodernis menyatakan bahwa narasi-narasi tradisional yang sebagian dari kita menyebutnya metanarasi telah memberi legitimasi terhadap institusi-institusi dan tatanan sosial kita tak dapat dipercayakan lagi. Di kubu feminis berpendapat bahwa narasi-narasi ini tersirat bahkan seringkali secara tersurat berifat seksis. Karena secara umum wanita menjadi ibu, orang bisa bilag bahwa identitas dan pemahaman tentang dirinya sendiri sudah sewajarnya bersifat relasional. Anda—yang bukan kaum feminis atau yang tidak mengindahkan derajat perempuan—bahwa kaum hawa dirancang untuk memperoleh identitasnya dengan cara membuat hubungan mereka dengan orang lain, seperti bayi dan anak mereka serta wanita lainnya. Secara temperamen, mereka---kaum feminis—juga menginginkan komunitas dimana anak-anaknya akan tumbuh terasuh dan terlindungi. Dilain pihak, kaum laki-laki mengembangkan pemahaman diri mereka—kaum perempuan—melalui pemisahan dan penjarakan dari dari pihak lain (alienasi).

Jadi bagi kaum feminis-posmodernis, perbedaan antara laki-laki dan perempuan sungguh kontras. Ya. Baik dalam pengertian identitas seksual maupun kekuataan politik yang tumbuh dari perbedaan-perbedaan tersebut. Misalnya Freud—bapak psikoanalisa abad 20—bertanya pada wanita tentang apa yang diinginkan oleh mereka. Freud menyangka bahwa mereka—para perempuan—hanya menginginka penis. Tapi jawabannya ternyata sederhana saja: wanita menginginkan kesetaraan dan keadilan serta adanya rasa kebersamaan untuk membantu mereka mengembangkan diri dan membesarkan anak-anak mereka. Namun itu sangat sulit dicapai dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki.

Danish Resistence Movement: Insureksi adalah sikap kepahlawanan yang sebenarnya.

Oleh : Lasog

Pada awal Perang Dunia II, negara-negara Skandinavia—Denmark, Swedia dan Norwegia—menyatakan sikap netral. Itu menandakan bahwa  mereka tidak akan memihak dalam konflik selama Perang Dunia II karena kenangan akan kehancuran pada Perang Dunia I yang masih segar dalam setiap kepala orang Denmark. Pemerintah berasumsi bahwa dengan bersikap netral, warganya akan terhindar dari kengerian krisis baru ini. Namun hal ini tidak terjadi. Suatu pagi, pada tanggal 9 April 1940, pasukan Jerman melintasi demakarsi atau wilayah  perbatasan ke Denmark yang netral, yang secara langsung berarti melanggar perjanjian non-agresi Jerman-Denmark yang ditandatangani satu tahun sebelumnya. Dalam sebuah operasi yang berjalan secara terkoordinasi, kapal-kapal Jerman mulai mengerahkan pasukannya di dermaga di Kopenhagen. Meskipun jumlah yang kalah banyak—kubu Denmark—dan kurang dilengkapi persenjataan, tentara di beberapa bagian negara menawarkan perlawanan; terutama Royal Guard di Kopenhagen dan unit di South Jutland. Pada saat yang sama juga dekat dengan persimpangan perbatasan, salah  satu pesawat Jerman menjatuhkan selebaran Oprop yang terkenal di atas Kopenhagen, yang meminta Denmark untuk menerima pendudukan Jerman dengan damai, dan mengklaim serta mengamini bahwa Jerman telah menduduki Denmark untuk melindunginya melawan Inggris Raya dan Prancis. Kolonel Lunding—salah seorang yang kerja kantor intelijen tentara Denmark—kemudian mengkonfirmasi bahwa intelijen Denmark mengetahui bahwa serangan tersebut akan terjadi pada tanggal 8 atau 9 April dan telah memperingatkan pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya. Herluf Zahle—Duta Besar Denmark untuk Jerman—mengeluarkan peringatan serupa yang juga diabaikan oleh pihak Jerman. Sebagai hasil dari transisi peristiwa yang cepat, pemerintah Denmark tidak memiliki cukup waktu untuk secara resmi mengumumkan perang terhadap Jerman.  Akibatnya enam belas tentara Denmark tewas dalam invasi tersebut, namun setelah dua jam perlawanan dilakukan akhirmya pemerintah Denmark mengibarkan bendera putih segera atau menyerah, itu dikarenakan pemerintah Denmark percaya bahwa perlawanan tidak ada gunanya dan berharap dapat menyelesaikan sebuah kesepakatan yang menguntungkan dengan Jerman. Dalam tahun-tahun pertama pendudukan Jerman atas Denmark, orang-orang Jerman sering mengajukan pertanyaan tentang status orang-orang Yahudi Denmark. Namun pemerintah Denmark secara konsisten dan tegas menolak untuk terlibat dalam perdebatan mengenai "pertanyaan Yahudi" karena pemerintah berkeras bahwa tidak ada "pertanyaan Yahudi" di Denmark. Menjadi semakin jelas bagi Berlin—ibukota Jerman—bahwa jika mereka ingin mempertahankan pendudukan yang damai dan menjamin kolaborasi pemerintah Denmark, akan lebih baik jika tidak menekan pemerintah. Sangat jelas bahwa kompromi tidak mungkin dipertanyakan, dan selama pemerintah Denmark menganut kolaborasi, "masalah" itu dikesampingkan. Namun akibat kolaborasi ini, selama tahun-tahun pertama pendudukan, aktivitas perlawanan aktif sedikit jumlahnya dan sebagian besar terdiri dari produksi surat kabar bawah tanah. Kurangnya pertempuran aktif ini membuat Winston Churchill menyebut Denmark sebagai "Pet Pet Hitler".

Baru setelah invasi Uni Soviet berhasil atas Jerman pada tahun 1941, banyak Komunis Denmark membentuk sel-sel perlawanan. Salah satu sel-sel perlawanan yang tumbuh tersebut adalah Kelompok Perlawanan BOPA (Borgelige Partisaner atau Bourgeois Partisan)—merupakan sekelompok gerakan perlawanan Denmark yang beroperasi pada masa pendudukan Denmark oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1942, Partai Komunis Denmark yang dianggap  ilegal  mulai membangun jaringan serta mengorganisir sel-sel sabotase sklala kecil di seluruh negeri, yang sebagian besar dibentuk oleh para veteran—bagian dari brigade sukarela anti-Franco dalam Perang Sipil Spanyol. Namun, karena senjata langka, senjata alternatif yang sering botol kaca, kain, bensin dan korek api atau disederhanakan Molotov serta dilakukan hanya dalam operasi skala kecil. Pada tanggal 25 Januari 1943 sekelompok siswa—yang sebelumnya telah ditolak keanggotaan kelompok perlawanan komunis karena ketidakpercayaan yang dipegang anggotanya terhadap elitisme—membakar persediaan alat komunikasi milik Jerman di Dansk Industrisyndikat di Hellerup menggunakan Molotov. Para siswa selanjutnya diterima ke dalam kelompok, dan ini menyebabkan perubahan nama dari KOPA (Kommunistiske Partisaner, Partisan Komunis) menjadi BOPA. Operasi yang dilakukan pun tumbuh dalam jumlah besar karena individu-individu dengan pemahaman serta pengetahuan tentang kemungkinan target bergabung ke dalam kelompok. Terutama para pemuda yang masih magang dari pabrik besar terbukti berguna dalam mengidentifikasi sasaran yang memasok militer Jerman, dan hal ini mengakibatkan serangan terhadap pabrik seperti Burmeister & Wain dan Riffelsyndikatet pada tahun 1943, Riffelsyndikatet (lagi) dan Global pada tahun 1944 dan Selalu di tahun 1945.

Holger Danske (kelompok Perlawanan)—kelompok ini dibentuk di Kopenhagen pada tahun 1942 oleh lima orang yang telah bertempur di sisi Finlandia selama Perang Musim Dingin. Pada saat ini pekerjaan perlawanan pendudukan membawa banyak risiko karena masyarakat umum masih banyak menentang sabotase dan pemerintah mengikuti kebijakan "kerjasama" atau “kolaborasi” dengan Nazi yang bertujuan untuk menghindari campur tangan Jerman dalam urusan Denmark sebanyak mungkin. Holger Danske, serta banyak sisa perlawanan Denmark, sangat menentang kolaborasi ini dan terus percaya bahwa orang Denmark seharusnya melawan invasi Jerman tersebut. Gunnar Dyrberg ingat dalam bukunya bagaimana dia melihat Danes—salah satu anggota Holger Danske—melakukan perbinvangan yang cukup akrab dengan orang-orang Jerman segera setelah invasi terjadi dan mengutip pecakapan tersebut sebagai salah satu alasan mengapa dia kemudian memutuskan untuk memasuki Holger Danske. Kelompok tersebut disusupi Gestapo dua kali namun karena struktur tubuhnya yang sangat longgar, Holger Danske tidak dapat mengidentifikasi semua anggotanya. Sebanyak 64 anggota dieksekusi oleh Gestapo selama pendudukan. Di antara tindakan sabotase terbesar yang pernah dilakukan oleh Holger Danske adalah meledakkan Arena pada tahun 1943 dan serangan secara sporadis dibeberapa tempat, seperti Burmeister & Wain pada tahun 1944.

Pada sekitar tahun 1942-43, operasi agitasi  dan perlawanan secara bertahap beralih ke tindakan yang lebih keras, terutama tindakan sabotase. Berbagai kelompok oposisi berhasil melakukan kontak dengan BUMN yang mulai membuat persediaan air. Jumlah tetesnya melambat sampai Agustus 1944, namun meningkat di bagian akhir perang. Seiring perang terus berlanjut, penduduk Denmark menjadi semakin bermusuhan dengan orang-orang Jerman. Prajurit yang telah ditempatkan diberbagai tempat  di Denmark telah menemukan sebagian besar penduduknya, meskipun udaranya dingin dan jauh dari dari pusat penduduk, namun kesediaan mereka untuk melawan secara bersama-sama membuat hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik.   Pemerintah telah berusaha untuk mencegah sabotase dan perlawanan keras terhadap pendudukan, namun pada musim gugur tahun 1942 jumlah tindak kekerasan terus meningkat sampai Jerman menyatakan bahwa "wilayah musuh" Denmark untuk pertama kalinya. Setelah pertempuran Stalingrad dan El-Alamein insiden perlawanan, kekerasan dan simbolis, meningkat dengan cepat. Pada tanggal 29 Agustus 1943, SS-General Werner Best mengumumkan darurat militer dan menuntut diterimanya hukuman mati. Pemerintah Denmark, setelah bekerja sama selama tiga tahun, dengan gigih berhenti berfungsi namun menolak untuk mengundurkan diri secara formal untuk mencegah orang Jerman mengambil alih, tanpa melanggar konstitusi Denmark. Namun administrasi Denmark tetap berfungsi. Dalam sebuah langkah untuk menyelamatkan muka, Best memutuskan untuk menindak dan meluncurkan rencana untuk menangkap orang-orang Yahudi. Pada tanggal 8 September, dia mengirim sebuah telegram ke Berlin: "Waktunya telah tiba untuk mengalihkan perhatian kita ke jalan keluar dari pertanyaan Yahudi." Ketika perintah terakhir untuk penggerebekan tersebut tiba dari Berlin pada tanggal 28 September, Best memberi tahu orang kepercayaannya, Georg Duckwitz, bahwa orang-orang Yahudi akan ditangkap dalam dua hari, pada malam antara 1 dan 2 Oktober. Atase maritim Jerman Georg F. Duckwitz membocorkan informasi tersebut ke politisi Denmark dan berita tersebut menyebar seperti api melalui teman, kenalan bisnis, dan orang asing yang ingin membantu. Warga biasa di seluruh negeri menawarkan perlindungan di gereja, loteng, dan rumah pedesaan, dan tempat tinggal. Orang asing yang lengkap mendatangi orang-orang Yahudi di jalan untuk menawarkan kunci ke apartemen mereka. Staf medis menyembunyikan lebih dari 1.000 orang Yahudi di rumah sakit Kopenhagen. Pada malam penggerebekan tersebut, orang Jerman hanya menemukan 284 orang Yahudi dari hampir 8.000 penduduk.

Orang-orang Yahudi diselundupkan keluar dari Denmark dengan mengangkut mereka melalui laut di atas Oresund dari Zealand ke Swedia—kisah ini diceritakan ulang oleh Louis Lowry dalam sebuah karya terbesarnya dalam Novel yang berjudul Menghitung Bintang meskipun karakter-karakternya ia ganti dengan banyak nama samaran. Beberapa diangkut dengan kapal nelayan besar, tapi ada pula yang dibawa ke dalam perahu dayung atau kayak. Beberapa pengungsi diselundupkan ke dalam mobil pengangkut barang di kapal feri reguler antara Denmark dan Swedia, rute ini cocok untuk yang berusia muda atau tua yang terlalu lemah untuk menempuh jalur laut yang kasar. Di bawah tanah telah dipecah menjadi mobil-mobil pengangkut barang kosong yang disegel oleh Jerman setelah diperiksa, membantu para pengungsi ke mobil-mobil, dan kemudian menyegel kembali mobil-mobil dengan segel Jerman yang ditempa atau dicuri untuk mencegah pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa nelayan yang membantu penyelamatan tersebut mengenakan biaya untuk mengangkut orang Yahudi ke Swedia, sementara yang lain melakukan pembayaran hanya dari mereka yang dapat membeli tiket. Beberapa pencuri mengambil keuntungan dari kebingungan dan ketakutan selama hari-hari awal pelarian, namun seiring berjalannya waktu, gerakan bawah tanah Denmark menggulingkan mereka dan berperan aktif dalam mengatur penyelamatan dan menyediakan pembiayaan, terutama dari orang-orang kaya Denmark yang menyumbangkan sejumlah besar uang untuk penyelamatan   Pada hari-hari pertama aksi penyelamatan, orang-orang Yahudi mengangkut banyak pelabuhan nelayan di pantai Denmark untuk diselamatkan, namun Gestapo curiga terhadap aktivitas di sekitar pelabuhan (dan pada malam 1-2 Oktober, delapan puluh orang Yahudi terjebak dalam persembunyian loteng gereja di Gilleleje, tempat persembunyian mereka dikhianati oleh seorang gadis Denmark yang mencintai seorang tentara Jerman). Penyelamatan selanjutnya harus dilakukan dari titik-titik terpencil di sepanjang pantai. Sambil menunggu giliran mereka, orang-orang Yahudi berlindung di hutan dan di pondok jauh dari pantai, tidak terlihat dari Gestapo. Pada bulan September 1943, 'Dewan Kebebasan Denmark' diciptakan. Ini berusaha menyatukan berbagai kelompok yang membentuk gerakan perlawanan Denmark. Dewan tersebut terdiri dari tujuh perwakilan perlawanan dan satu anggota BUMN. Gerakan perlawanan meningkat menjadi lebih dari 20.000 dan menjelang tindakan sabotase D-Day meningkat secara nyata. Meskipun pendaratan D-Day berada di Normandia, BUMN percaya bahwa semakin banyak tentara Jerman terikat di tempat lain di Eropa, semakin sedikit yang bisa hadir di utara Prancis. Oleh karena itu, semakin banyak tindakan sabotase di Denmark, semakin banyak tentara Jerman yang akan terikat di sana. Pada tahun 1944, 'Dewan Kebebasan Denmark' meningkatkan upayanya dan lebih dari 11 juta kopi koran bawah tanah diterbitkan. Juni itu, setelah keadaan darurat yang diumumkan, seluruh kota di Kopenhagen mogok kerja. Marah, Jerman membanjiri kota dengan tentara, memotong air dan listrik, dan menetapkan blokade. Pada 2 Juli, 23 orang Denmark terbunuh dan lebih dari 203 terluka. Tapi Andes yang gigih bertahan. Jengkel, orang-orang Jerman meninggalkan tindakan hukuman ini pada bulan Juli. Kemudian pada musim gugur itu, ketika orang-orang Jerman mencoba untuk mendeportasi pejabat polisi Denmark yang mereka percaya menutup mata terhadap sabotase dan kekacauan, Kopenhagen melanjutkan pemogokan lagi, bergabung dengan 58 kota dan kota lainnya. Takutnya penangkapan Gestapo, warga sipil berduyun-duyun ke gerakan perlawanan; pendaftaran melebihi 45.000 pada titik tertingginya. Pada bulan Mei 1945, Berlin yang dilanda perang mengalah untuk memajukan pasukan Sekutu, mendorong Jerman untuk meninggalkan Denmark sama sekali. Setelah perang, 40.000 orang ditangkap karena dicurigai berkolaborasi. Dari jumlah tersebut, 13.500 dihukum dengan cara tertentu. 78 menerima hukuman mati, meski hanya 46 yang dilakukan. Sebagian besar menerima hukuman penjara di bawah empat tahun.   Banyak orang mengkritik proses mengorbankan "orang kecil" secara tidak proporsional, sementara banyak politisi dan bisnis tidak tersentuh. Masalah sulit lainnya adalah apa yang harus dilakukan dengan kolaborator yang pada dasarnya "mengikuti perintah" yang diberikan pemerintah mereka sendiri, seperti eksekutif bisnis yang telah didorong untuk bekerja dengan Jerman.

----------------------------------------

Sumber Referensi:

Terp, Holger. "Danish Peace History". Diakses pada 19 November 2017 <http://www.fredsakademiet.dk/dkpeace.pdf>

Nygaard, Anders dkk. "BOPA". Diakses pada 19 November 2017
<http://denstoredanske.dk/Danmarks_geografi_og_historie/Danmarks_historie/Danmark_1849-1945/BOPA>

Holmskov Schlüter, Hans. "Danish Resistance during the Holocaust". Diakses pada 21 November 2017 <http://www.holocaustresearchproject.org/revolt/>

Trueman, C N . "The Danish Resistance". Diakses pada 21 November 2017 < http://www.historylearningsite.co.uk/world-war-two/resistance-movements/the-danish-resistance/

>

Ironi Kepahlawanan Sepakbola

Oleh : Lasog

“What? A great man? I only ever see the ape of his own ideal.”Friedrich Nietzche

Siapa superhero pertama di lapangan hijau? Sebuah pertanyaan yang biasa keluar di perbincangan dunia persepakbolaan. Sebelum kita mendalami dan mengenal siapa superhero di lapangan hijau itu, mari kita sama-sama sepakati terlebih dahulu mengenai  superhero. Masyarakat awam tahu bahwa superhero (biasanya) merupakan sosok (protagonis) yang mampu mengatasi berbagai masalah serta mampu menyelamatkan atau menolong semua orang. Akan tetapi, diluar pengertian umum mengenai makna superhero, ada pula superhero yang “hanya” bermodalkan selayaknya manusia biasa, seperti halnya kita atau bahkan sebaliknya, justru berangkat dari sosok yang dianggap berlawanan, yaitu penjahat—akibat kontruksi sosial. Hal tersebut atau sosok itu biasa dikenal dengan istilah: anti-hero.

The Phantom, misalnya, adalah sosok superhero “hantu” yang lebih mengandalkan kemampuan untuk mengelabui penjahat. Pun demikian dengan pahlawan lainnya semacam Batman, yang memiliki kekuatan super melalui pakaian yang ia modifikasi sedemikian rupa dengan perlengkapan yang berteknologi tinggi. Sementara untuk sosok asenti-hero, Watchmen—salah satu komik ciptaan Alan Moore—salah  satunya. Sebuah kelompok mantan pahlawan, namun tidak memiliki kekuatan yang biasa dimiliki oleh kebanyakan para pahlawan. Mereka berenam hanya memiliki kekuatan manusia biasa.

Dalam konteks realita sepak bola, gema tentang epos kepahlawanan tak dapat dikesampingkan. Misalnya di tanah Britania Raya, peradaban sepakbola Inggris mengenal nama Roy of The Rovers atau yang bernama asli Roy Race—tokoh rekaan Frank S Pepper (1910-1988) yang terbit pada tahun 1954. Bagi sebagian kalangan, Roy of The Rovers sejatinya merupakan sosok yang terinspirasi dari sosok Kapten Inggris yang mengantarkan Inggris juara World Cup pada tahun 1966. Bobby Moore (1941-1993) namanya. Hal tersebut dibuktikan dengan waktu terbitnya komik Roy of The Rovers diterbitkan, tahun 1993. Tahun itu sama dengan tahun ketika Moore—panggilan akrab Booby Moore—meninggal. Kedepannya, keduanya—Roy of The Rovers dan Moore—dianggap sebagai simbol kick n rush yang diidentikan dengan semangat pantang menyerah.

Pada tanggal 10 April 1995, The Guardian—surat kabar yang dimiliki kelompok Guardian Media Group. Surat kabar ini merupakan harian serius dalam bentuk lembaran besar dan dikenal relatif berhaluan kiri—sempat menulis bahwa ada sosok pesepakbola Inggris lain yang dianggap juga mewakili semangat khas Roy of The Rovers. Alan Shearer namanya. Ia berasal dari klub Blackburn Rovers dan sebagai pencetak gol terbanyak di Liga Inggris. Yang menarik kemudian adalah beragam sosok pahlawan muncul dari lapangan hijautak melulu identik dengan konsep hero yangada mitologi yunani atau superhero dalam horison atau pandangan dunia perkomikan. Jika diperbolehkan menebak, dalam dunia sepakbola, konsep Anti-hero lah yang lebih dominan dan melekat serta sangat mengekal dalam ingatan di peradaban dunia sepakbola manapun, ketimbang  gambaran superhero yang gagah perkasa seperti yang direpresentasikan dalam cerita di dunia komik.

Diego Armando Maradona, salah satu contohnya. Ia adalah sosok anti-hero yang bisa kita jumpai dalam film-film noir seperti The Maltese Falcon (1941) atau Touch of Evil (1958); lahir di lingkungan kelas menengah kebawah, dan hidup dilingkungan yang menyaratkan ia untuk bertahan hidup (survive). Di daerah yang tinggali sangat identik dengan ambivalensi moralitas a la jalanan. Tumbuh dan besar dan lingkungan tersebut, maka sangat wajar jika nama Maradona kemudian sangat dipuja-puja di Boca Junior dan Napoli.

Sosok anti-hero lainnya dapat kita temukan dalam diri Eric Cantona. Salah satu hal yang paling dikenang dari diri Cantona—selain tendangan kungfu-nya ke Mattew Simons, Hooligan Crystal Palace yang bebal itu—adalah saat ia menyerukan kepada orang-orang untuk mengosongkan rekening tabungan mereka sebagai bentuk protes terhadap krisis keuangan global kala itu.

Jika kita pindah ke daratan Italia, terdapat dua nama yang juga pantas disebut sebagai anti-hero, yaitu Antonio Cassano dan Cristiano Lucarelli. Cassano merupakan simbol hedonisme dalam persepakbolaan Italia, Bercinta dengan banyak perempuan, makan enak, mabuk, membangkang manajer klub, melawan titah pelatih, berlatih hanya jika ia mau, tak peduli skor akhir dalam pertandingan. Inilah yang membedakan dengan Balotelli atau Maradona, yang hampir sama bengalnya. Jika Balo dan Maradona masih mempersoalkan nasionalisme sempit a la stadion dan harga diri timnas, Cassano justru mempersetankan semua hal tersebut. Ia menolak terikat dengan suatu identitas yang bersinggungan dengan fanatisme dalam stadion belaka. Menurut pandangan saya, sosok Cassano dan sifat serta sikapnya adalah sosok anti-hero sebenarnya dalam sepakbola. Ia merupakan representasi atau perwujudan yang sangat dekat dengan konsep Ubermensch dalam filsafat Nietzchean: memiliki kehendak bebas tanpa kontrol atau otoritas apapun, kemauan kuat untuk berkuasa atas dirinya sendiri dan memahami moralitas tuan dalam kehidupan.

Berbeda dengan hal yang ada pada Cassano, karakter Lucarelli tendensi lebih ke ideologis, lebih politis, meskipun keduanya dianggap anti-hero yang sama. Lucarelli adalah idealis keras kepala Livorno adalah tulang dan darahnya, segalanya adalah Livorno! Demikian bagaimana ia selalu menggaungkannya. Yang tak kalah hebat lagi, saat bermain sepakbola, ia tidak hanya sekedar ber-euphoria saja, namun ia sangat totalitas dan sanggup mengeluarkan segala kemampuannya demi klubnya saat bertanding. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Lucarelli bisa dianggap sebagai anti-hero yang militan seperti halnya dengan Cassano? Tentu saja pilihan atau arah politiknya. Ia adalah seorang Komunis yang taat, sama halnya dengan warga Livorno kebanyakan. Dan juga Livorno adalah kota dimana Partai Komunisme Italia pertama kali didirikan, yaitu pada tahun 1921. Padahal kita tahu bahwa Italia adlah negeri yang sarat dengat Fasisme. Satu hal lagi yang masih membuat seorang komunis semacam Lucarelli dianggap sebagai seorang komunis militan adalah saat laga Internasional U-21 tahun 1977, antara Italia dan Moldova. Saat itu Lucarelli merupakan salah satu striker muda andalan yang sangat potensial dan sangat berambisi untuk mencetak gol. Dan memang ia mencetak gol dan merayakannaya atau berselebrasi dengan berlarikerah tribune suporter Italia dan mencopot jersey yang ia pake dan melemparkannya kearah supoter. Yang menjadi terkenang bahwa ia sangat kental dengan kekirian adalah setelah ia melepaskan dan melemparkan jersey yang ebelumnya telah memakai kaos putih untuk dalaman jersey-nya. Kaos putih itu bergambar wajah Che Guevara—seorang revolusioner dari Kuba. Meskipun setelah kejadian itu lantas dicekal oleh FIGC.

Pada akhirnya sikap (ke)pahlawanan pada dunia sepakbola hanya sebuah kontruksi sosial. Ia adalah refleksi dari hasrat banyak orang tentang sesuatu yang ideal, sempurna, tak tertangkap oleh cakupan kita, sekalipun ia berada dalam wilayah “abu-abu” seperti konsep anti-hero yang telah dijelaskan diatas.

Dan jika kita tarik ke dalam konteks persepakbolaan Indonesia, menurut saya Evan dimas yang  boleh menjadi sosok pahlawan yang sempat digilai oleh masyarakat beberapa tahun lalu. Akan tetapi jangan terlalu kagum atau bahkan kaget jika sosok Evan Dimas (kala itu) lebih cemerlang dan laku daripada iklan Sosis So Nice atau iklan Oli Yamaha Evalube 4T-Pro. Jika saya boleh meminjam istilah dari Michael Foucoult (1926-1984) mengatakan bahwa kekonyolan semacam itu disebut  irony heronization, “ironi heronisasi”, iya! Tentang kepahlawanan yang kini masih abu-abu di Indonesia.

Tetapi bukanlah sangat relevan dan cocok untuk negeri ini yang tak bisa lepas dari ironi?

Masyarakat Ekologis A la Bookchin

Oleh: Lasog

Salah satu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme adalah dengan cara menahan kerakusan untuk terus bertumbuh secara individual dan tidak berusaha memisahkan hakikat keberadaan manusia sebagai sebuah komunal atau kelompok yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta egaliter antar sesama manusia. Murray Bookchin (1921-2006), sebagai seorang berpaham eko-anarkisme pernah mengatakan bahwa pembongkaran otoritas para kapital yang mengorientasikan dirinya dalam eksploitasi SDM dan SDA oleh masyarakat ,yang dilakukan dengan pendekatan anarkisme akan membuat masyarakat mengembalikan keseimbangan antara manusia dengan alam itu sendiri. Bookchin menawarkan sebuah cara dalam menindaklanjuti hal tersebut, tentunya dengan perspektif anarkisme, yaitu dengan menggantikan praktik-praktik ketidaksetaraan atas pihak-pihak yang seharusnya setara dengan praktik-praktik kesetaraan bagi mereka yang tidak diperlakukan setara (replacing the inequality of equals by the equality of unequals). Bookchin menamakan masyarakat baru ini dengan nama Anarko-komunisme, yaitu sebuah masyarakat yang menghilangkan penyebab utama atau akar masalah dari tumbuhnya dominasi manusia terhadap alam, yakni eksploitasi manusia atas manusia yang lain (Homo homini lupus). Agar hubungan manusia dengan alam menjadi harmoni, terlebih dahulu harus membenahi keharmonisan dalam dunia sosial yakni hubungan manusia dengan manusia yang lain.

Sehubungan dengan hal-hal diatas tadi, Bookchin menawarkan sebuah konsepsi yang dikemudian hari disebut sebagai Masyarakat Swa-kelola. Prinsip dalam Masyarakat Swa-kelola tersebut dilakukan dengan cara memutuskan hubungan atau sifat dependensi terhadap negara serta menolak apapun jenis kontrol negara, membentuk masyarakat yang terdesentralisasi, serta alat-alat produksi menjadi kepemilikan komunal dan dikelola secara kolektif. Ketiga prinsip itu muncul Karena kekecewaan para kaum eko-anarkis memandang eksistensi negara, regulasi yang negara buat, watak rakus pembangunan, homogenisasi kelayakan, simplifikasi serta dominasi otoritarian dalam sistem kapitalisme adalah asal muasal krisis ekologi yang kini makan parah, dan jika tetap dibiarkan seperti ini, hal ini akan mengarah dan berujung pada "ecological apocalypse".

Pengembalian hak produksi kepada masyarakat berarti mengembalikan kedaulatan yang seharusnya diterima oleh masyarakat untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa dominasi kontrol negara alias mandiri. Masyarakat akan mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan memupuk relasi mutualisme dalam skala kebutuhan konsumsi wajar, bukan produksi yang berkelanjutan. Sebagai agenda kedepannya, perubahan manusia dengan alam akan memenuhi pra-kondisi eko-anarkis apabila dengan membangun dan memulainya pada ruang pedesaan relatif yang masih memiliki keterikatan yang kuat terhadap alam sekitar, terutama dalam proses produksi serta kehidupan sehari-hati yang senantiasa berdampingan dengan alam.

Dalam perspektif eko-anarkisme terdapat beberapa indikasi atau faktor-faktor yang dimiliki kapitalisme berdampak menghancurkan bagi ekologi yakni simplifikasi atau penyederhanaan kompleksitas ekosistem, contohnya penanaman yang dilakukan dengan cara monocropping; pembuatan hierarki; reduksi fisik-mekanis atas ketidaksiapan Alam; valuasi ekonomi atas elemen yang alami menjadi sumber day; spesialisasi yang diterapkan pada mesin dan tenaga kerja; konsentrasi kapital dan pemilik mega-industri serta para investor; stratifikasi dan birokrasi yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hati; obyektifikasi atas alam dan manusia; segregasi di perkotaan yang menimbulkan slum serta pemisahan wilayah konsumsi dengan hinterland.

Disisi lain, masyarakat ekologis di masa depan akan menjadi sebuah komunitas yang memiliki keterikatan dengan ekosistem dimana mereka hidup, masyarakat lokal pun akan memenuhi produksinya dari sumber daya dan relasi terhadap komunitas sekitarnya secara mutual, masyarakat yang memenuhi konsumsi atas dasar kebutuhan kelompok bukan keinginan individu, semua alat produksi menjadi miliki kolektif/bersama bukan atas kepemilikan privat, desentralisasi perkotaan dalam wilayah-wilayah yang berskala kecil sehingga memiliki daya dukung bagi keberlangsungan ekosistem, kesatuan antara industri dan pertanian secara siklis, penggunaan dan penerapan teknologi yang dilakukan dengan tepat dan tetap mengindahkan keseimbangan alam, serta yang paling fundamental atas perubahan sosio-politik adalah tidak ada lagi campur tangan atau kontrol negara terhadap komunitas swa-kelola yang menerapkan demokrasi langsung (direct democracy).