Senin, 09 Oktober 2017

Antara jemari 6 dan jemari 5


Aku tenggelam dan hilang di balik sebuah pusara di ujung desa. 

Aku merasa jenuh bahkan muak mendengarkan cacian dan makian garis-garis tak jelas yang harus aku torehkan setiap akhir bulan di kelurahan.

Aku merasa kacau, ketika huma menolak keberadaan jiwa-jiwa yang aku kumpulkan dan kujaga didalam raga hingga hari pemulangan.

Bunyi-bunyi yang mengacaukan serta memekakkan telinga hinggap setiap saat ketika para Bigot yang lebih nyaman disebut RSA datang.

Mereka bilang " hei pelacur!! Kau tak pantas dianggap manusia!! Kau adalah hewan!! ".

Terasa sakit, tapi apalah kata hati yang tak mampu mengekspresikan dirinya melalui tindakan.

Hanya berpasrah pada waktu dan keberuntungan yang tak kunjung menjemput harapan.

Lima belas hingga tiga puluh orang berbaju mulia katanya. Namun sebenarnya amoral dalam tindakannya kembali memasuki ruang.

Dimana aku dijadikan sebuah permainan yang mereka anggap untuk menggugurkan kesenangan dan kenikmatan.

Ketika aku bertolak dari mereka, mereka akan menangkapku dipojokkan ruang dan memberikan ratusan kata-kata berkonotasi ancaman.

Ratusan orang berambut jarang telah menjamahku sejak pertama kali aku datang di tempat ini, tempat dimana semua bajingan berada.

Selepas kubebas dari cengkeraman-cengkraman itu. Aku lari sekencang-kencangnya. Namun akhirnya aku hanya tetap tinggal dalam jari-jemari mereka. 

Aku dan semua wanita yang pernah merasakannya merasa begitu hancur.

Bagaimana mereka bisa menganggap kami pelacur. Merekalah yang sepantasnya disebut pelacur!

Dengan bangga membawa suatu tanda hadiah dari atasan bernama Tamtama.

Mereka melacurkan dirinya pada negara. Namun sebenarnya hanya untuk membantu kudeta.

Kenapa aku dan semua wanita yang dianggap partisan malah yang kena imbasnya?

Teruntuk semua dosa yang kalian lakukan. Terpaksa merasa jumawa meski hati tak rela.

0 komentar:

Posting Komentar