Gerakan Perempuan Inggris 1850-1914: Kerja atau Menikah (?)
Pada pertengahan abad ke-19, Revolusi Industri dan kemakmuran Kerajaan Inggris telah menciptakan suatu armada kerja perempuan—gadis-gadis pemintal, pelayan-pelayan rumah tangga, dan buruh-buruh tani, pembuat kopi, tukang setrika serta pengajar privat anak-anak. Diantara mereka ini, yang paling mandiri ialah buruh-buruh pabrik kota-kota pemintalan yang baru di Lancashire da Yokshire.
Pada abad-abad sebelumnya, kaum perempuan biasanya bekerja dirumah bersama dengan ayah ataupun suami mereka, di ladang atau di bengkel kerja maupun di industri rumah tangga. Di pabrik-pabrik baru itu, gadis-gadis bekerja secara kolektif, bebas dari kendali orang tua mereka—dan untuk pertama kalinya mereka mendapatkan upahnya sendiri setiap minggu. Namun, gadis buruh pekerja saat itu hanyalah bagian kecil saja. Kebanyakan perempuan pekerja pada saat itu hanyalah sebagai pelayan-pelayan rumah tanga yang diawasi oleh majikan-majikan mereka. Jam kerja mereka lebih panjang, namun upah mereka lebih rendah dari mereka yang bekera di pabrik. Semua pekerjaan perempuan tak terjamin, tak teratur dan lebih rendah upahnya ketimbang pekerjaa laki-laki. Para perempuan secara ketat dikecualikan dari dunia profesi dan pendidikan. Secara ekonomis dan sosial, harapan terbaik bagi perempuan ialah menikah.
Peran yang dituntut dari istri ada zaman Victorian kelas menengah sangatlah berbeda dari peran yang dituntut dari istri petani atau tukang dari abad-abad sebelumnya ketika produksi dijalankan di seputar rumah. Istri pada zaman Victorian tak punya tempat di dunia. Namun, perempuan-perempuan yang menikah lebih mirip tahanan rumah ketimbang “bidadari dalam rumah”. Perempuan-perempuan lajang setidaknya masih punya hak sendiri untuk memiliki pendapatan dan hak miliknya sendiri. Saat menikah, semua itu terampas. Semua pendapatan sang istri menjadi milik saminya—dan nasib sang istri bisa seperti Mrs. Rocester dalam novel Charlotte Bronte Jane Eyre (1847), “perempuan gila dalam loteng.” Pada praktiknya, banyak laki-laki kelas menengah yang menunda pernikahan sampai mereka berusia empat puluh tahun.
Pada pertengahan abad ke-19, terdapat “kelebihan” perempuan kelas menengah yang menikah dan yang tidak menikah, dan tak mendapatkan pendidikan yang layak, pekerjaan—diluar sebagai pengajar anak-anak—dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Meskipun nasibnya lebih baik dari perempuan-perempuan kelas buruh, namun jelas bahwa sumber ekonomi perempuan kelas menengah tergantung pada landasan ideologis dari superioritas laki-laki. Butuh beberapa generasi kaum inggris untuk mendapatkan sebagian besar dari hak-hak sipilnya sebagai perempuan—hak untuk mendapatkan pendidikan, untuk memiliki upahnyasendiri dan hak pilih.
Generasi Pertama: Para Perempuan dari Langham Place
Barbara Leigh Smith (kelak bernama Mrs. Bodichon) (1827-1891) lahir dari keluarga yang penuh semangat dan tak ortodoks. Ayahnya adalah seorang Anggota Parlemen yang radikal, Benjamin Leigh Smith. Ibunya, Anne Longdon seorang pemintal, meninggal saat Barbara masih berusia tujuh tahun. Ayah dan ibunya tak pernah menikah, sehingga keluarga itu dalam relasinya dianggap tabu. Rumah tanga Leigh Smith sendiri merupakan bertemunya para pendukung penghapusan perbudakan, pengungsi-pengungsi politik dan aktivis-aktivis politik. Sahabat dekat Barbara, Bessie mengenang pertama kali dia menyangsikan sang ayah Barbara mengikat tali sepatu sambil berjongkok dan diselingi obrolan untuk mengajak semua keluarganya untuk bepergian, padahal di zaman Victorian itu sendiri, kedudukan perempuan sangatlah tidak ada, sehingga sangat menakjubkan dan juga langka jika seorang laki-laki—suami contohnya mengajak perempuan atau istri mereka jalan-jalan. Kawan remaja Barbara, Bessie Rayner Parker (1829-1925) juga berasal dari keluarga yang radikal. Pada tahun 1850, mereka berdua secara tanpa pemberitahuan melakukan perjalanan pengamatan berkeliling Eropa.
Pada tahun 1856, Barbara dan Bessie mengorganisir sebuah komite untuk mengumpulkan petisi bagi Undang-undang Hak Milik Perempuan Yang Menikah ( hak istri untuk memiliki hak dan pendapatan pribadi). Pada tahun 1858, keduanya meluncurkan English Women’s Journal untuk memperdebatkan isu-isu mengenai hak-hak perempuan untuk berkerja dan hak pilih. Pada tahun 1859, mereka mendirikan Perhimpunan untuk Memajukan Kesempatan Kerja bagi Perempuan (Society for Promoting the Emplyment of Women) yang mendirikan percetakan perempuan Victoria Press, yang dikelola oleh Emily Faithfull dan barisan pengarang perempuannya. Pada thaun yang sama juga dibangun Institut untuk perempuan di 19 Langham Place. Dr, Elizabeth Blackwell, yang merupakan dokter pertama di AS, menjadi pembicara di Langham Place.
Pada tahun 1865, “Perempuan-perempuan Langham Place” mengorganisir petisi-petisi untuk Undang-undang Hak Pilih Perempuan untuk disampaikan kepada Parlemen oleh Anggota Parlemen yang terpilih, John Struart Mill (1806-1873). Mill dan rekannya, Helen Taylor (1807-1858) yang merupakan sahabat dekat orang tua Bessie.
Generasi Kedua: Feminisme Kemurnian Sosial (Sosial Purity Feminism)
Pada tahun 1870-an dan 80-an, feminisme dengan corak yang lain muncul dengan memfokuskan diri pada usaha untuk menjembatani pemisahan antara istri yang mempunyai kehormatan seperti bangsawan yang murni dan penghibur yang terbuang secara sosial. Hanya seorang perempuan dengan mental baja dan keberanian besar yang berani menyatakan bahwa tak ada perbedaan ekonomis sehingga menjadikan istri-istri dan perempuan-perempuan penghibur sama-sama melayani laki-laki, namun dengan basis “yang berbeda.” Josephine Butler (1828-1906) berkampanye secara gigih—dan seringkali dengan penuh resiko—menentang Undang-undang Penyakit Menular pemerintah Inggris tahun 1860-an. Menurutnya, setiap perempuan kelas pekerja yang disebut sebagai pelacur di daerah barak-barak tentara dan pelabuhan-pelabuhan angkatan laut dapat dipaksa untuk menjalani pemeriksaan medis oleh ahli-ahli bedah tentara dan angkatan laut. Josephine merupakan anggota awal dari Langham Place dan akrab dengan kaum feminis Amerika. Hak-hak perempuan memang bisa dimenangkan dalam medan politik, hukum, pekerjaan dan pendidikan, namun bagi Josephine, persoalannya ialah—apakah pembaharuan itu mengubah Ekonomi-Seksual dari penindasan perempuan? Kegigihannya untuk mengaitkan ekonomi dan seksualitas tidak disambut baik oleh para pejuang emansipasi lain pada masa itu. Ia sangat modern dalam hal penolakannya terhadap nasib reproduktif yang dipaksakan terhadap perempuan sebagai istri dan ibu. Ia mendukung kesetaran seksual yang membolehkan perempuan untuk gerak secara bebas dalam masyarakat tanpa ikatan-ikatan rumah tangga. Ia juga percaya bahwa perempuan memiliki kebudayaannya sendiri, yang secara moral lebih superior ketimbang laki-laki.
Sumber Referensi:
Rueda, Marisa, dkk. 2007. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.